Widijanto, Ketua DPW ALFI DKI, dan proses loading kargo di salah satu airlines internasional di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Sejumlah Freight Forwarding yang menangani barang impor/ ekspor via Bandara Soekarno-Hatta atau sering disebut Air Freight Forwarding melaporkan keluhannya ke DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta.
Pasalnya, mereka sering menjerit akibat terkena denda sebagai dampak dari penerapan Peraturan Menteri Keuangan No 158/PMK.04/2017, kata Ketua DPW ALFI DKI Widijanto kemarin.
Peraturan Menkeu No 158/PMK.04/2017 mengatur tentang Tatalaksana Penyerahan Pemberitahuan Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifest Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut.
Widijanto mengatakan sesuai ketentuan PMK No 158/PMK . 04/2017 forwarding yang menangani impor /ekspor melalui udara harus submit inward manifest ( impor ) dan outward manifest (ekspor) paling lambat saat pesawat landing menyentuh landasan untuk barang impor dan pesawat lepas landas untuk barang ekspor.
"Kalau terlambat, tidak ada ampun forwarding dikenakan sanksi denda minimum Rp 10 juta dan maksimum Rp 100 juta. Selain itu kalau terjadi kesalahan dalam hal jumlah kemasan juga didenda minimum Rp 25 juta dan maksimum Rp 250 juta, " tegas Widijanto.
Menindaklanjuti keluhan anggota, kata Widijanto, DPW ALFI DKI, 13 Maret 2019 menyurati Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi. "Kami antara lain minta agar forwarding yang beroperasi di bandara (air freight forwardinng) diberikan perlakuan khusus, mengingat cepatnya waktu lalulintas (landing/take off) pesawat terbang".
ALFI DKI minta batas waktu penyampaian inward manifest/outward manifest dapat diperlonggar maksumum 1x24 jam agar forwarding punya waktu untuk berkoordinasi dengan pihak Air Lines/ground handling di Bandara.
"Kita juga minta agar besaran denda kepada forwarding sebagai pengangkut kontraktual atau Non-Vessel Operating Common Carrier (NVOCC) tidak disamakan dengan Air Lines sebagai Real Carrier karena sebagian besar forwarding tergolong UKM.
Widijanto mengatakan keterlambatan forwarding menyampaikan inward manifest sering terjadi bukan akibat dari kesalahan mereka.
Misalnya forwarding di Singapura sudah beritahukan via email kepada agennya di Indonesia akan kirim barang melalui penerbangan SQ no X dengan perkiraan berangkat atau estimated time departure (ETD) pk17.00.
Forwarding di Indonesia tentu melakukan hitungan dengan jarak tempuh Singapura -Jakarta sekitar 2 jam, berarti estimated time arrival (ETA) pk 19.00 WIB. Saat itulah paling lambat dia harus submit inward manifest.
Tapi di luar dugaan sebelum pesawat SQ X berangkat ada pesawat SQ no... lain ke Jakarta ETD pk 14.00. Karena tempat kargo kosong barang tadi dibawa dan tiba di Jakarta sekitar pk 16.00. Akibatnya Forwarding di Jakarta terlambat sampaikan inward manifest dan kena denda.
Widijanto mengatakan dulu sebelum Forwarding diakui sebagai NVOCC, beban denda --sesuai UU Pabean-- menjadi tanggungjawab real perusahaan pengangkut.
Namun sejak forwarding diakui sebagai pengangkut kontraktual (NVOCC), tambahnya, beban denda dialihkan ke forwarding. Ini sangat memberatkan bagi forwarding khusuanya yang beroperasi di bandara, tuturnya.
Kegiatan bertema “Children At Your Services” adalah program kolaborasi IAS dengan UNICEF dengan memperkenalkan profesi-profesi dunia aviasi kepada anak-anak.
…DetailsBisnis jasa kurir/ekspedisi yang tahan banting bahkan ketika krisis, melaju pesat dan mencatatkan pertumbuhan dua digit selama beberapa tahun terakhir
…DetailsKerjasama ini adalah langkah strategis kedua maskapai beri nilai tambah pengguna jasanya sekaligus mendukung pertumbuhan aktivitas bisnis dan pariwisata kedua negara
…DetailsKehadiran cabang utama ini memainkan peran penting dalam membantu pelaku usaha lokal memperluas distribusi produk, di pasar lokal maupun nasional
…Details